Di zaman modern seperti sekarang, banyak orang lebih memperhatikan rasa daripada nilai manfaat dari makanan yang mereka konsumsi. Tren makanan cepat saji, makanan kemasan, dan minuman berperisa artifisial tumbuh subur di tengah masyarakat. Namun, tidak semua yang bisa dimakan membawa kebaikan bagi tubuh. Islam sebagai agama yang sempurna menekankan pentingnya menjaga tubuh dengan mengonsumsi yang halal dan thayyib, bukan sekadar mengenyangkan. Maka dari itu, makanan tak bermanfaat menjadi sorotan serius dalam tinjauan syariat.
Makanan tak bermanfaat adalah segala jenis makanan yang tidak memberikan gizi, tidak menunjang kesehatan, bahkan bisa merusak tubuh dalam jangka pendek atau panjang. Ini bisa berupa makanan yang terlalu banyak mengandung pengawet, pewarna buatan, pemanis buatan, hingga makanan yang hanya menggugah selera tanpa memperhatikan kandungan nutrisinya. Di sinilah letak peringatan yang seharusnya membuat umat Islam lebih berhati-hati dalam memilih makanan sehari-hari.
Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS Al-Baqarah: 195)
Ayat ini memberikan landasan kuat bahwa setiap Muslim wajib menjaga diri, termasuk dari makanan tak bermanfaat yang berpotensi merusak kesehatan. Ketika makanan hanya menyenangkan lidah tapi memicu penyakit, maka itu bukanlah nikmat, melainkan musibah yang dibungkus dengan kenikmatan semu. Ironisnya, banyak yang tidak menyadari bahaya ini hingga mereka terjebak dalam gaya hidup yang memanjakan hawa nafsu.
Pandangan Islam Tentang Makanan yang Tidak Memberi Manfaat
Rasulullah SAW adalah sosok yang sangat sederhana dalam hal makanan. Beliau tidak pernah makan berlebihan, dan selalu memilih makanan yang bersih, sehat, dan alami. Dalam riwayat disebutkan bahwa beliau lebih memilih kurma, air zamzam, susu, madu, dan gandum sebagai konsumsi harian. Tidak pernah ada catatan bahwa Rasulullah memakan makanan tak bermanfaat, apalagi yang hanya merusak tubuh tanpa memberi energi dan gizi.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada wadah yang lebih buruk diisi oleh manusia selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan punggungnya. Jika harus makan lebih banyak, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk napas.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)
Hadist ini menekankan pentingnya makan secukupnya dan tidak rakus. Konsumsi makanan tak bermanfaat biasanya terjadi karena orang makan bukan untuk kebutuhan, tetapi untuk kesenangan semata. Mereka mengisi perut dengan makanan tinggi gula, lemak trans, dan zat aditif yang tidak dikenal oleh tubuh sebagai nutrisi. Padahal, tubuh adalah amanah, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas cara kita menjaganya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa perut yang dipenuhi makanan yang buruk akan mempengaruhi hati dan pikiran. Hati menjadi gelap, pikiran tumpul, dan nafsu menguasai. Maka dari itu, beliau mengingatkan agar tidak asal makan, karena makanan adalah bahan bakar bagi akal dan ruh. Bila bahan bakarnya buruk, maka output hidup pun akan rusak.
Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam Zad al-Ma’ad juga menyebutkan bahwa banyak penyakit bermula dari pola makan yang tidak sehat. Konsumsi makanan tak bermanfaat bukan hanya mengundang penyakit lahiriah seperti diabetes, obesitas, dan kolesterol, tetapi juga mengundang penyakit batin seperti malas beribadah, mengantuk saat shalat, dan kecanduan terhadap kenikmatan duniawi.
Realita dan Sentimen Emosional Terkait Makanan Tak Bermanfaat
Di satu sisi, makanan tak bermanfaat sering kali dijual dengan harga murah dan mudah diakses. Anak-anak sekolah lebih memilih jajanan instan daripada bekal sehat. Remaja tergoda iklan minuman kekinian daripada air putih. Orang dewasa memilih makanan cepat saji karena alasan praktis. Semua ini menjadi potret dari masyarakat yang lebih mementingkan kenyamanan sesaat dibandingkan tanggung jawab terhadap tubuh yang Allah titipkan.
Namun di sisi lain, muncul juga kesadaran dari sebagian umat Islam yang mulai memilih makanan organik, memasak di rumah, dan menghindari konsumsi makanan tak bermanfaat. Ini menjadi sinyal positif bahwa hati yang bersih akan mencari hal yang thayyib. Mereka yang menjaga tubuh dari makanan buruk cenderung lebih sehat, semangat dalam ibadah, dan lebih tenang dalam menghadapi hidup.
Sayangnya, perjuangan untuk menghindari makanan tak bermanfaat tidak mudah. Godaan media sosial, promosi makanan ekstrem, hingga tekanan lingkungan menjadikan seseorang sulit lepas dari gaya hidup instan. Bahkan ada yang merasa “ketinggalan zaman” jika tidak mencoba makanan viral yang belum tentu bergizi. Di sinilah pentingnya ilmu, kesadaran diri, dan keimanan untuk menjaga pola makan sesuai syariat.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, dan Dia tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim)
Kalimat ini tidak hanya berlaku untuk ibadah, tetapi juga untuk apa yang kita konsumsi. Makanan adalah bahan dasar dari doa yang dikabulkan. Jika tubuh diisi dengan makanan tak bermanfaat, lalu bagaimana kita berharap doa kita bersih dan sampai ke langit?