Mengenal dekat sosok Utsman Bin Affan berarti membuka lembar sejarah yang penuh keteladanan, pengorbanan, sekaligus ujian berat yang mengguncang hati seorang hamba. Ia adalah khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin, seorang sahabat yang dijuluki Dzun Nurain, “pemilik dua cahaya”, karena menikahi dua putri Rasulullah ﷺ secara bergantian. Dalam dirinya terpadu kelembutan hati, kedermawanan yang luar biasa, dan keberanian dalam memimpin umat di tengah fitnah yang melanda.
Kelembutan Hati dan Kedermawanan yang Tidak Tertandingi
Sejak awal masuk Islam, Utsman Bin Affan telah menunjukkan bahwa iman bukan sekadar keyakinan di hati, tetapi tindakan nyata. Ia menginfakkan hartanya tanpa ragu demi dakwah. Ketika kaum Muslimin membutuhkan sumber air bersih, ia membeli sumur Raumah dengan harga mahal dan mewakafkannya untuk umat. Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadis: “Siapa yang membeli sumur Raumah, maka baginya surga.” (HR Bukhari)
Sifat ini menjadi cermin bahwa mengenal dekat dirinya berarti memahami bahwa kekayaan bukanlah penghalang untuk meraih ridha Allah. Sayangnya, di zaman sekarang banyak orang yang menumpuk harta untuk gengsi dan kekuasaan, bukan untuk kemaslahatan. Di sini terlihat kontras yang menyayat hati adalah kedermawanan seorang khalifah yang hidup 14 abad lalu justru jarang ditemui di tengah kecanggihan dunia modern.
Ulama seperti Ibn Hajar al-Asqalani mencatat bahwa sedekah Utsman Bin Affan tidak pernah terhenti, bahkan dalam masa krisis. Saat perang Tabuk, ia menyumbang 300 unta lengkap dengan perlengkapan dan 1.000 dinar emas. Rasulullah ﷺ pun bersabda: “Tidak ada yang membahayakan Utsman setelah hari ini.” (HR Tirmidzi) Sebuah kalimat yang menunjukkan betapa agungnya amal yang dilakukan.
Kepemimpinan di Tengah Fitnah
Menjadi khalifah tidak selalu berarti duduk di singgasana dengan tenang. Mengenal dekat masa kepemimpinan Utsman Bin Affan berarti menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan gejolak politik, fitnah, dan pemberontakan yang mengancam persatuan umat.
Meski terkenal lembut, ia memiliki keteguhan hati yang jarang dimiliki pemimpin lain. Ketika pemberontak mengepung rumahnya dan mendesaknya untuk turun, ia memilih bersabar daripada menumpahkan darah kaum Muslimin. Sikap ini berakar pada sabda Rasulullah ﷺ yang pernah mengatakan kepada beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari dalam hadist shahih: “Wahai Utsman, mungkin Allah akan memakaikanmu baju (kekhalifahan). Jika mereka ingin engkau melepaskannya, janganlah engkau lepaskan demi keridhaan mereka.” (HR Bukhari)
Namun, kelembutan hatinya justru dijadikan celah oleh musuh-musuhnya. Tuduhan dan fitnah dilancarkan tanpa henti, hingga sebagian umat termakan isu. Inilah sisi pahit dari kepemimpinan yang kebaikannya seringkali tidak diingat, sementara kesalahan yang belum tentu benar dibesar-besarkan.
Ibn Katsir menulis bahwa fitnah di masa Utsman Bin Affan adalah ujian besar yang memisahkan orang yang sabar dan setia dari mereka yang goyah. Kesabaran beliau menjadi teladan bahwa memegang amanah bukan hanya soal kemampuan, tetapi juga soal istiqamah di tengah badai ujian.
Kesyahidan yang Mengguncang Dunia Islam
Akhir perjalanan Utsman Bin Affan adalah tragedi yang menggetarkan hati. Dalam keadaan berpuasa, ia dibunuh oleh pemberontak di rumahnya sendiri. Saat itu, mushaf Al-Qur’an terbuka di hadapannya, dan darahnya menetes membasahi ayat “Maka Allah akan mencukupkan engkau dari mereka.” (QS. Al-Baqarah: 137).
Kematian ini bukan sekadar akhir dari seorang khalifah, tetapi titik balik sejarah yang membuka pintu perpecahan besar di tubuh umat Islam. Para ulama, seperti Imam As-Suyuthi, menyebut bahwa kesyahidan Utsman Bin Affan adalah salah satu musibah terbesar setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, karena dari sinilah fitnah besar bermula.
Namun di balik peristiwa kelam itu, ada cahaya yang tetap bersinar. Kesetiaannya pada prinsip, kesabarannya di tengah fitnah, dan pengorbanannya demi menghindari pertumpahan darah menjadi warisan berharga bagi umat.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Orang yang paling penyayang di antara umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam urusan Allah adalah Umar, dan yang paling pemalu adalah Utsman.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan bahwa sifat malu Utsman Bin Affan bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang membimbingnya untuk menjaga kehormatan dan menghindari perbuatan yang mendekati dosa.
Mengenal dekat sosok ini bukan hanya menghafal kisahnya, tetapi merenungkan bagaimana nilai-nilai itu dapat kita terapkan di zaman sekarang. Kedermawanan di tengah sifat kikir manusia, kesabaran di tengah fitnah media, dan kepemimpinan yang mengutamakan kemaslahatan umat di atas kepentingan pribadi adalah pelajaran yang tak lekang oleh waktu.