Dalam Islam, makan bukan hanya persoalan mengisi perut, tetapi merupakan bagian dari ibadah. Rasulullah SAW telah mengajarkan umatnya adab makan yang penuh kesopanan dan tata krama. Berbeda dengan itu, sifat makan dari hewan babi sering kali dijadikan simbol dari kerakusan, ketidakteraturan, dan ketidaksucian. Maka ketika seseorang makan dengan cara yang serakah, rakus, dan tak peduli dengan sekitarnya, banyak ulama menyamakannya dengan cara makan hewan babi yang tidak mengenal adab atau batas.
Makan seperti hewan babi bukan hanya soal gerakan fisik, tetapi juga mencerminkan kondisi batin seseorang. Hewan babi dikenal sebagai makhluk yang memakan apa saja, termasuk najis, dan tidak memiliki seleksi terhadap apa yang ia konsumsi. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang mengajarkan halal dan thayyib. Maka setiap Muslim hendaknya waspada agar tidak hanya menghindari makan hewan babi, tetapi juga tidak meniru cara hidup dan sifat buruknya.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu benar-benar menyembah-Nya.” (QS Al-Baqarah: 172)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan bukan hanya dinilai dari kehalalannya, tapi juga dari cara mendapatkannya, cara mengonsumsinya, dan dampaknya terhadap akhlak. Ketika seseorang makan seperti hewan babi—rakus, tanpa bersyukur, dan tidak peduli hak orang lain—maka ia telah mengingkari nikmat Allah yang seharusnya disyukuri dengan adab dan etika.
Sifat Buruk yang Tercermin dari Hewan Babi
Dalam berbagai literatur Islam, hewan babi disebut sebagai simbol dari sifat-sifat yang tercela. Ia makan secara sembarangan, tidak memiliki rasa malu, dan tidak peduli dengan kebersihan. Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Zad al-Ma’ad menyebut bahwa hewan babi adalah hewan yang paling tidak selektif dalam makanan, bahkan akan memakan kotorannya sendiri. Oleh sebab itu, banyak ulama menegaskan pentingnya menjaga diri dari sifat dan perilaku yang menyerupai karakter hewan babi, termasuk dalam hal makan.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang ketika makan, ia makan dengan adab.” (HR Baihaqi)
Adab makan meliputi menyebut nama Allah sebelum makan, makan dengan tangan kanan, tidak berlebihan, dan tidak mencela makanan. Semua ini adalah bentuk penghambaan dan kesopanan yang membedakan manusia dari hewan. Maka, siapa pun yang makan dengan cara merusak nilai-nilai ini, sejatinya ia telah mendekati perilaku hewan babi—yang tidak punya batas antara najis dan suci, antara cukup dan rakus.
Sebagian orang bahkan menjadikan makan sebagai ajang pamer atau pelampiasan hawa nafsu. Mereka menyantap makanan dengan tamak, mengambil bagian orang lain, bahkan merusak suasana dengan suara keras, sendawa berlebihan, atau mencela rasa makanan. Ini bukan hanya tidak sopan, tapi juga menurunkan martabat kemanusiaan. Dan lebih parah lagi, menyerupai perilaku hewan babi yang dikenal tak tahu aturan dan kesopanan.
Rasulullah SAW bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu dan minumlah dengan tangan kananmu, karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR Muslim)
Hadist ini menunjukkan bahwa makan memiliki aturan. Tidak boleh seenaknya. Tidak boleh menyerupai perilaku setan atau binatang. Maka bagaimana jika seorang Muslim justru makan dengan cara yang lebih buruk daripada hewan babi—dengan melahap tanpa adab, memonopoli hidangan, dan tidak peduli perasaan orang lain?
Peringatan Ulama Tentang Meniru Perilaku Binatang
Dalam Islam, menyerupai sesuatu yang tercela adalah hal yang dilarang. Hewan babi adalah hewan yang tidak hanya haram dimakan, tapi juga dijadikan simbol keburukan dalam perilaku. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa nafsu makan yang tidak terkendali adalah ciri khas binatang, dan orang yang mengikuti nafsunya tanpa batas akan terjerumus ke dalam akhlak hewani.
Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah anak Adam memenuhi suatu wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan punggungnya…” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)
Hadist ini menegaskan bahwa kerakusan adalah kebiasaan yang tercela. Makan hingga kekenyangan secara terus-menerus bukanlah sifat orang beriman, melainkan cerminan dari ketamakan yang bisa menyeret seseorang pada perbuatan yang menyerupai hewan babi. Mereka tidak pernah puas, selalu ingin lebih, dan tak mampu berkata cukup.
Sebagian ulama bahkan menyarankan agar dalam mendidik anak-anak, penting untuk menanamkan adab makan sejak dini. Jangan biarkan mereka makan sambil berdiri, makan tanpa mencuci tangan, atau makan dengan mulut terbuka dan suara keras. Semua itu adalah perilaku yang menjurus pada akhlak hewan, termasuk hewan babi, dan harus diluruskan dengan keteladanan.
Di era modern, budaya makan cepat dan sembarangan telah menjadi kebiasaan yang umum. Makanan instan dikonsumsi sambil berjalan, sambil berbicara, bahkan sambil bermain gawai. Tak ada lagi momen bersyukur, tak ada lagi adab, yang tersisa hanya perut yang terus diisi. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana manusia semakin mendekati sifat hewan babi, yang hanya mengikuti insting dan nafsu.