Di balik gemerlap kehidupan malam, dentuman musik, dan pesta pergaulan bebas, tersimpan satu kebiasaan gelap yang kian mengakar di kalangan generasi muda: minuman keras. Fenomena ini semakin mencemaskan ketika tak lagi dianggap tabu, tetapi justru menjadi bagian dari gaya hidup yang dibanggakan. Munculnya iklan terselubung, budaya populer, dan pengaruh lingkungan membuat minuman keras merayap masuk ke hati anak-anak muda tanpa banyak penolakan.
Banyak yang awalnya hanya sekadar coba-coba, tertarik karena ajakan teman, atau ingin terlihat keren di hadapan lingkungan sosialnya. Namun seiring waktu, minuman keras menjadi candu, menjerat mereka dalam lingkaran setan yang menghancurkan masa depan. Sebagian merasa cukup dengan “sekadar mencicipi”, padahal satu tegukan bisa membuka pintu pada kerusakan yang lebih luas: kecanduan, kekerasan, kriminalitas, hingga hilangnya kendali diri.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.” (QS Al-Ma’idah: 90)
Ayat ini merupakan peringatan keras bagi umat Islam. Khamr—yang dalam bahasa sekarang bisa diartikan sebagai minuman keras—disebut secara tegas sebagai perbuatan keji, bukan hanya makruh atau dibenci, melainkan haram dan menjijikkan. Sayangnya, sebagian anak muda justru menganggapnya sebagai bagian dari pencarian jati diri.
Minuman Keras dan Kehancuran Moral Remaja
Minuman keras bukan sekadar racun bagi tubuh, tetapi juga virus bagi akal dan moral. Betapa banyak anak muda yang kehilangan masa depannya hanya karena satu botol miras. Mereka ditangkap dalam kasus perkelahian, mengalami kecelakaan, hingga melakukan kejahatan yang tak mereka sadari karena mabuk. Tragedi ini bukan cerita fiksi, tapi kenyataan yang setiap hari menghiasi pemberitaan.
Rasulullah SAW bersabda: “Khamr adalah induk dari segala keburukan. Barang siapa meminumnya, Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari. Jika ia mati dalam keadaan itu, maka ia mati dalam keadaan kafir.” (HR Ibnu Majah)
Hadist ini sangat menakutkan. Bahkan satu kali minum minuman keras bisa membuat seseorang tidak diterima ibadahnya selama empat puluh hari. Jika dikonsumsi terus-menerus, pelakunya semakin menjauh dari rahmat Allah. Bukan hanya dosa besar, tetapi juga penghalang antara hamba dan Tuhannya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa akal adalah pondasi utama dalam menjalankan agama. Maka segala sesuatu yang merusak akal, termasuk minuman keras, adalah musuh agama. Ketika akal tumpul karena mabuk, maka syahwat mengambil alih. Di sinilah bermula segala bentuk maksiat lainnya—zina, kekerasan, hingga pembunuhan.
Sebagian remaja berdalih bahwa mereka hanya minum sedikit, atau hanya pada momen tertentu. Tapi Rasulullah SAW sudah mengingatkan: “Apa yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)
Tidak ada istilah mencicipi yang halal. Setiap tetes minuman keras adalah permulaan kehancuran. Dan yang paling menyedihkan, banyak dari mereka yang menyembunyikan kebiasaan ini dari orang tua, dari guru, dan bahkan dari teman yang baik. Mereka hidup dalam kepura-puraan, padahal dosa terus menumpuk dalam diam.
Normalisasi Miras dan Diamnya Masyarakat
Salah satu faktor terbesar penyebaran minuman keras di kalangan muda adalah diamnya lingkungan. Banyak orang tua yang tidak peduli, guru yang hanya fokus pada nilai akademik, dan tokoh agama yang enggan bersuara keras. Sementara itu, akses pada minuman keras semakin mudah—baik secara fisik maupun digital.
Anak-anak remaja bisa membeli miras lewat aplikasi, atau datang ke tempat hiburan yang melayani mereka tanpa tanya usia. Bahkan sebagian supermarket menyediakan minuman keras di rak yang sejajar dengan air mineral. Inilah bentuk pembiaran sistematis yang menghancurkan generasi. Lalu siapa yang bertanggung jawab?
Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam Al-Jawabul Kafi mengatakan bahwa dosa terbesar bukan hanya karena dilakukan, tetapi juga ketika dibiarkan. Maka siapa pun yang tahu ada kemungkaran, termasuk peredaran minuman keras, wajib mencegahnya sesuai kemampuan. Jika tidak bisa dengan tangan, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dengan hati. Dan itulah selemah-lemahnya iman.
Ada pula remaja yang merasa bangga karena bisa minum miras sambil tetap beribadah. Mereka berkata, “Yang penting hati saya tetap baik.” Tapi bagaimana mungkin seseorang mengaku menjaga hati sementara ia mencemari tubuhnya dengan sesuatu yang jelas haram? Ini adalah bentuk kebohongan rohani yang disebabkan oleh ketumpulannya nurani akibat minuman keras.