Dalam kehidupan sosial, hubungan antarindividu merupakan jantung dari harmoni dan kedamaian. Salah satu bentuk hubungan yang paling dekat dan sering teruji adalah hubungan dengan tetangga. Dalam ajaran Islam, kedudukan bertetangga bukanlah urusan sampingan yang bisa diabaikan. Ia memiliki aturan, akhlak, dan konsekuensi yang dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur’an, hadist, dan pandangan para ulama. Bahkan, hukum bertetangga dalam Islam bukan hanya perkara etika, tetapi bisa menyentuh wilayah iman dan pertanggungjawaban di akhirat.
Dalam Setiap Hak Bertetangga
Dalam Alquran Allah SWT berfirman: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh…” (QS. An-Nisa: 36)
Ayat ini menegaskan bahwa bertetangga adalah bagian dari lingkaran kebaikan yang diperintahkan oleh Allah. Hak mereka disebut setelah orang tua dan kerabat, menunjukkan betapa pentingnya menjaga hubungan dengan orang-orang yang tinggal di sekitar kita.
Sayangnya, dalam realitas hari ini, hubungan bertetangga sering kali dipenuhi dengan konflik kecil yang membesar yakni saling curiga, berebut lahan, bising tak terkontrol, atau hanya karena salah paham yang tak diklarifikasi. Bahkan, tak sedikit yang memilih hidup tertutup dan menganggap tetangga hanyalah sosok asing yang kebetulan tinggal bersebelahan.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadist: “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Beliau ditanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadist ini tidak sekadar memberi peringatan, tetapi menjadi ancaman bahwa menyakiti tetangga bisa menggugurkan keimanan seseorang. Maka jelas, dalam hukum Islam, menyakiti tetangga bukan hanya buruk secara sosial, tetapi juga dosa besar yang akan diperhitungkan kelak.
Dari Akhlak Mulia Hingga Tanggung Jawab Syariat
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa hak tetangga tidak hanya dalam bentuk tidak menyakiti, tetapi juga aktif memberi manfaat, seperti membantu ketika sakit, ikut berduka saat musibah, dan memberikan ucapan selamat saat mereka mendapat kebahagiaan. Dalam praktik Islam, akhlak baik kepada tetangga termasuk bagian dari ketakwaan.
Namun banyak yang merasa tidak punya kewajiban, hanya karena tidak punya hubungan darah. Padahal bertetangga menurut agama Islam bisa berstatus wajib jika berkaitan dengan hak asasi mereka. Misalnya, memberikan pertolongan saat mereka dalam bahaya, atau memberikan informasi ketika terjadi hal darurat. Jika kita lalai, maka dosa mengintai.
Ada pula kisah memilukan dari seorang ibu yang tinggal sendiri di rumah kecil. Bertahun-tahun ia tidak pernah dikunjungi tetangganya. Suatu hari ia jatuh sakit dan meninggal dalam keadaan sepi. Baru setelah jenazahnya menimbulkan bau, barulah orang-orang menyadari kehadirannya. Ini bukan sekadar tragedi sosial, tapi juga kegagalan spiritual. Sebab seseorang yang shaleh bukan hanya diukur dari shalat dan puasa, tetapi dari sejauh mana seseorang peduli pada sekitarnya.
Antara Ganjaran dan Ancaman
Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum berkerabat dalam Islam mengandung dua sisi seperti pahala besar bagi yang menjaga, dan dosa besar bagi yang menyakiti. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa tetangga akan menjadi saksi di akhirat. Jika mereka merasa tersakiti, maka mereka bisa menuntut keadilan di hadapan Allah. Maka sebaik-baik orang bukanlah yang hanya banyak ibadah, tetapi juga mampu menjaga lisan, sikap, dan tindakan dari menyakiti mereka yang ada di sekitar.
Sayangnya, ada yang merasa dirinya sudah cukup saleh karena rajin ke masjid, tapi rumahnya menjadi sumber keributan. Ada yang gemar berdonasi jauh ke luar negeri, tapi tidak tahu tetangganya makan atau tidak hari ini. Inilah bentuk paradoks keimanan yang kerap terjadi.
Sebaliknya, ada pula kisah kerabat yang sederhana tapi hatinya mulia. Ia tak banyak bicara, tapi setiap ada yang sakit ia datang membawa makanan. Ia tak punya kendaraan, tapi selalu siap meminjamkan jika ada yang perlu bantuan. Tanpa gembar-gembor, tanpa pujian, tapi catatan amalnya bisa jadi lebih tinggi daripada mereka yang terlihat aktif secara lahiriah.