Makan dari Pinggir Bukan dari Tengah

Makan dari Pinggir Bukan dari Tengah

Makan adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Tapi dalam Islam, makan bukan sekadar mengisi perut. Ia adalah ibadah, bentuk syukur atas rezeki, dan sarana menjaga adab. Islam memuliakan setiap proses makan, mulai dari mengambil makanan, duduk dengan tenang, hingga adab menyuapinya. Salah satu adab yang sering kali diabaikan adalah anjuran untuk makan dari pinggir, bukan dari tengah.

Banyak orang menganggap cara makan hanyalah soal kebiasaan. Mereka tak menyadari bahwa dalam setiap perintah dan larangan syariat, selalu ada hikmah besar yang tersembunyi. Rasulullah SAW, manusia paling mulia, telah mengajarkan kepada umatnya cara makan yang penuh etika. Salah satunya tertuang dalam hadist:

“Apabila salah seorang dari kalian makan, maka makanlah dari sisi pinggir makanan dan jangan dari tengahnya, karena berkah itu turun di tengah-tengah makanan.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)

Hadist ini menegaskan betapa Rasulullah memperhatikan tata cara makan. Beliau tidak hanya mengajarkan apa yang halal dan haram untuk dimakan, tetapi juga bagaimana cara menghormati makanan itu sendiri. Sayangnya, banyak orang yang meremehkan, bahkan mencibir adab seperti ini dengan alasan tidak relevan atau terlalu kaku.

Padahal ketika seseorang makan dari tengah, ia seakan-akan merusak harmoni makanan tersebut. Ini bukan hanya masalah estetika, tetapi juga keberkahan. Sebab Rasulullah menekankan bahwa keberkahan turun dari tengah. Dengan makan dari pinggir, kita menghormati posisi keberkahan itu, membiarkannya meresap ke seluruh bagian hidangan.

Mengapa Makan dari Pinggir Itu Penting?

Secara sosial, adab makan dari pinggir menunjukkan sikap tidak rakus dan memberi kesempatan kepada orang lain. Saat seseorang mengambil makanan dari tengah, apalagi ketika makan bersama, ia tampak terburu-buru dan tidak menghargai kehadiran orang lain. Sebaliknya, makan dari pinggir mengajarkan kita untuk bersabar dan rendah hati.

Namun, ada pula yang mengabaikan sunnah ini karena menganggapnya tidak praktis. Mereka menyendok dari bagian mana saja, mencampur, bahkan mengaduk-aduk nasi dan lauk hingga tidak beraturan. Perilaku seperti ini, meski terlihat biasa, sebenarnya mencerminkan sikap yang jauh dari adab makan yang diajarkan Nabi.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa makan dari tengah adalah makruh karena menunjukkan sifat serakah. Ia berkata: “Disunnahkan bagi seseorang untuk makan dari bagian terdekat darinya dan tidak menyentuh bagian tengah karena di sanalah keberkahan turun.”

Ini adalah pandangan ulama besar yang sangat dihormati. Tapi tetap saja, banyak yang tidak peduli, bahkan merasa risih mengikuti adab ini saat makan bersama teman yang tidak terbiasa. Mereka lebih memilih mengikuti tren modern yang cenderung asal cepat dan kenyang, daripada menjaga warisan adab Rasulullah.

Ketika seseorang makan dari pinggir, ia sebenarnya sedang melatih dirinya untuk tertib dan teratur. Ia menghormati makanan, memuliakan pemberian Allah, dan menjaga keberkahan yang terkandung di dalamnya. Tapi jika sebaliknya, makan dilakukan dengan terburu-buru, dari bagian tengah yang belum disentuh, maka nilai dari makanan itu pun bisa berkurang secara ruhani.

Di dunia modern yang serba instan, cara makan perlahan mengarah pada pola hidup tanpa aturan. Orang makan sambil berjalan, menyuap dari manapun, bahkan sambil membuka ponsel. Mereka lupa bahwa makan adalah momen sakral, bukan hanya untuk tubuh tetapi juga untuk jiwa.

Akibat Buruk Mengabaikan Adab Makan

Mengabaikan adab makan bukan hanya soal hilangnya pahala, tetapi juga bisa berdampak pada kebiasaan hidup yang buruk. Anak-anak yang dibiasakan makan asal-asalan akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak tahu etika. Mereka mungkin akan membawa kebiasaan ini ke meja makan keluarga, ke tempat kerja, atau bahkan dalam acara resmi.

Bukan hal yang asing lagi jika hari ini kita melihat orang yang makan tanpa aturan di ruang publik. Tidak memedulikan sekitarnya, mengambil bagian terbaik tanpa izin, bahkan kadang mengunyah dengan suara keras. Semua ini bukan hanya persoalan sopan santun, tapi juga hilangnya keberkahan dalam makan.

Hadist makan dari pinggir bukan hanya untuk zaman dulu. Ia adalah ajaran sepanjang masa, yang menjaga martabat manusia saat menikmati rezeki. Saat kita memulai makan dengan bismillah, mengambil dari sisi terdekat, dan makan dengan tangan kanan, kita sedang menghidupkan sunnah yang membawa keberkahan dunia dan akhirat.

Para ulama salaf dikenal sebagai orang yang sangat hati-hati dalam perkara kecil. Mereka tahu bahwa keberkahan dalam makan bukan hanya pada jenis makanan, tapi juga pada cara menyantapnya. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, terkenal sangat menjaga adab makan. Ia tidak akan memulai makan sebelum membaca doa, tidak makan dari tengah, dan selalu menyisakan sedikit untuk menunjukkan rasa cukup.

Namun sayangnya, banyak umat Islam hari ini yang bahkan tidak tahu dari mana seharusnya mereka mulai makan. Tidak sedikit pula yang merasa aneh jika ada yang mengingatkan tentang adab makan. Mereka tertawa, meremehkan, bahkan menganggap itu tidak penting. Padahal Rasulullah tidak pernah mengajarkan sesuatu kecuali ada kebaikan besar di dalamnya.

Dalam konteks yang lebih luas, makan dari pinggir bukan hanya persoalan teknik menyendok makanan. Ini adalah simbol dari cara hidup Islam yang rapi, teratur, dan penuh keberkahan. Sebuah pelajaran sederhana yang bisa mengubah cara kita memandang rezeki.

Bagikan:

Related Post