Dalam kehidupan sehari-hari, hampir setiap orang pernah berhadapan dengan masalah keuangan. Tidak semua orang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena itu, hukum dan dalil hutang piutang menjadi bagian penting dalam syariat Islam yang mengatur hubungan antar manusia. Hutang bisa menjadi penyelamat, tetapi juga bisa berubah menjadi beban yang berat, bahkan menjerumuskan pelakunya pada dosa besar bila tidak dijaga dengan amanah.
Ada orang yang memandang hutang sebagai jalan keluar penuh keberkahan, karena ia membantu sesama yang kesulitan. Namun, ada pula yang merasakan hutang sebagai jeratan riba menakutkan, sebab hutang bisa menimbulkan permusuhan, kebencian, dan hilangnya kepercayaan. Disinilah Islam hadir, memberikan tuntunan jelas mengenai hukum dan dalil hutang piutang, agar manusia tidak terjebak dalam kesalahan yang bisa menghancurkan hubungan ukhuwah.
Hukum Hutang Piutang dalam Syariat Islam
Al-Qur’an secara tegas menyebutkan perintah mengenai hutang. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 282, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” Ayat ini menunjukkan bahwa hukum dan dalil hutang piutang memiliki kedudukan tinggi, bahkan ayat terpanjang dalam Al-Qur’an justru berbicara tentang muamalah hutang. Allah menekankan pentingnya pencatatan agar tidak ada sengketa di kemudian hari.
Hutang dalam Islam adalah akad yang diperbolehkan dan bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat menolong. Namun, kelalaian dalam membayar hutang bisa menjadi dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung dengan hutangnya hingga hutang itu dibayarkan.” (HR. Tirmidzi). Hadits ini menggambarkan betapa beratnya tanggung jawab hutang, sampai-sampai ruh seseorang tidak bisa tenang bila meninggalkan hutang yang belum lunas.
Dari sisi positif, memberi hutang kepada orang yang membutuhkan adalah bentuk amal saleh. Ulama menjelaskan bahwa pahala memberi pinjaman lebih besar daripada bersedekah, karena pinjaman biasanya diberikan pada orang yang sangat terdesak dan membutuhkan. Akan tetapi, bila orang yang berhutang sengaja tidak melunasi, maka ia termasuk orang yang berbuat zalim. Rasulullah ﷺ bersabda: “Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah sebuah kezaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalil Ulama dan Pandangan Tentang Hutang
Para ulama sepakat bahwa hukum dan dalil hutang piutang harus diperhatikan dengan hati-hati. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa hutang bukan perkara ringan. Beliau mengingatkan, orang yang berhutang hendaknya menjaga niatnya. Jika ia berniat melunasi, Allah akan memudahkan. Namun jika ia berniat mengingkari, maka laknat Allah menimpanya.
Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim menjelaskan hadits Rasulullah ﷺ: “Barang siapa mengambil harta manusia dengan niat hendak membayarnya, maka Allah akan membantu melunasinya. Dan barang siapa mengambil dengan niat merugikan, maka Allah akan menghancurkannya.” (HR. Bukhari). Hadits ini menjadi dalil utama bahwa niat dalam hutang menentukan keberkahan dalam bisnis atau justru bencana dalam kehidupan seseorang.
Lebih jauh lagi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menegaskan bahwa banyak orang meremehkan hutang, padahal ia adalah salah satu perkara yang bisa menahan seseorang masuk surga jika belum terselesaikan. Betapa menggetarkan hati, ketika mendengar kisah Rasulullah ﷺ yang enggan menyalatkan jenazah sahabat karena ia masih memiliki hutang yang belum terbayarkan. Barulah setelah sahabat lain menanggung hutang itu, Rasulullah ﷺ mau menyalatkannya.
Dampak Baik dan Buruk Hutang Piutang
Kisah nyata dalam kehidupan seringkali memperlihatkan dua sisi hutang. Di satu sisi, hutang bisa menjadi sarana kebaikan. Betapa banyak orang yang selamat dari kelaparan, kebangkrutan, atau kesulitan hidup berkat adanya saudara yang bersedia memberikan pinjaman. Hutang menjadi pengikat kasih sayang, menumbuhkan kepercayaan, dan menghadirkan doa yang ikhlas.
Namun di sisi lain, hutang bisa berubah menjadi racun. Permusuhan, fitnah, bahkan perpecahan keluarga tidak jarang lahir dari hutang yang tak kunjung dilunasi. Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang amalan yang paling utama. Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah.” Namun ketika ditanya tentang hal yang paling ditakuti, Rasulullah ﷺ menyebut “hutang” sebagai perkara yang berat, karena bisa menyeret seseorang ke dalam kebohongan dan janji palsu.
Bayangkan, betapa menyakitkannya hati seorang pemberi hutang yang ditipu. Betapa pedihnya rasa malu seorang penghutang yang tak mampu membayar. Dua-duanya menimbulkan luka jika tidak diiringi dengan iman dan akhlak mulia. Disinilah syariat hadir memberikan aturan jelas agar hutang menjadi jalan pertolongan, bukan jalan kehancuran.
Hukum dan dalil hutang piutang dengan segala ketentuannya adalah bukti bahwa Islam sangat memperhatikan keadilan sosial. Allah mengajarkan pencatatan, menghadirkan saksi, serta menanamkan amanah dalam hati setiap mukmin. Rasulullah ﷺ mencontohkan pentingnya melunasi hutang, bahkan beliau sendiri tidak segan menerima bantuan dan segera membayarnya tepat waktu.